Sabtu, 13 Juni 2009

Dampak Tayangan Televisi Terhadap Anak

Benarkah televisi telah menjadi media yang “mengkhawatirkan”. Pertanyaan ini muncul akibat telah berkembangnya perilaku negatif terutama di kalangan anak yang sesungguhnya tidak boleh dipandang sebelah mata. Lalu benarkah televisi telah menjadi biang kerok munculnya perilaku agresif, permisif, dan konsumtif di kalangan anak-anak. Pertanyaan ini “memaksa” kita untuk lebih jeli memahami media televisi bagi kehidupan manusia.
Tidak dapat dipungkiri, hadirnya televisi telah memberikan andil besar bagi
peradaban manusia. Televisi yang merupakan perpaduan kekuatan teknologi radio dan film (audio visual) telah menyulap wajah dunia begitu dinamis. Kekuatan audio visual televisi benar-benar memanjakan penggunanya. Bayangkan saja, “demam” atau berita apa saja yang terjadi di belahan bumi ini dapat kita saksikan di rumah sendiri dengan aman dan nyaman. Saat “demam sepak bola” World Cup 2006 melanda dunia kita tidak perlu harus pergi ke Jerman. Cukup duduk santai di rumah atau nonton bareng di Padang kita pun bisa berteriak (kadang sedikit berjingkrak) menyaksikan pertandingan demi pertandingan tanpa harus beli tiket. Apa yang terjadi di Amerika, Belanda, Pakistan, Irak, Papau, atau di Jakarta bisa langsung (live) kita tonton di rumah masing-masing melalui layar televisi.
Televisi si kotak ajaib telah menjadi media yang keberadaannya sangat ditentukan oleh kendali pemakainya. Artinya, Televisi adalah sarana yang berisi tayangan-tayangan. Meskipun Melvin De Fleur menyatakan bahwa televisi mampu mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Tetapi sebenarnya yang salah bukan televisinya tetapi dampak tayangan yang ada dalam televisi. Dengan demikian, persoalan mendasar dari kehadiran media televisi adalah terletak pada dimensi pemanfaatan. Pemanfaatan inilah yang menjadi titik masalah munculnya perilaku-perilaku yang mengkhawatirkan.
Diskursus tentang pemanfaatan media televisi menjadi hal yang menarik. Sebab, ada tiga komponen yang terlibat dalam hal ini yakni, Pemerintah, pengelola, dan masyarakat (pemirsa). Bila dicermati, tayangan televisi yang menimbulkan ekses negatif dapat dieliminasi jika pemerintah sebagai regulator memiliki political will yang kuat guna mengawasi Lembaga Penyiaran dalam menyajikan siaran atau tayangan-tayangannya. Meskipun pemerintah (eksekutif dan legislatif) telah membuat UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran tetapi pelaksanaannya masih setengah hati. Hal ini jelas terlihat dalam pemberian legitimasi atau tafsir Undang-Undang tentang keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
KPI sebagai Lembaga Negara Independen hanya berwenang mengawasi isi siaran melalui P3 SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) tanpa memiliki wewenang memberikan sanski yang tegas kepada lembaga penyiran yang telah melanggar P3 SPS. Jadi sifatnya hanya sebatas memberikan teguran sementara sanski administratif sebagaimana tertuang dalam Bab VIII Pasal 55 UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi domainnya pemerintah. Bagaimana mungkin KPI mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai “juri penyiaran” kalau tidak diizinkan memberikan “kartu peringatan” kepada lembaga penyiaran yang dinilai telah melanggar aturan yang ada.
Tayangan televisi yang telah meresahkan masyarakat memang membutuhkan dimensi kepedulian moral bagi pengelola atau lembaga penyiaran. Pihak pengelola televisi memang sering dihadapkan pada dilematis antara dimensi idiil dan komersial. Meskipun secara filosopis idealisme (dimensi idiil) menjadi ciri hakiki pers tetapi realitas menunjukkan bahwa aspek komersial lebih menggejala. Pengelola penyiaran televisi masih terjebak pada upaya menayangkan siaran-siarannya yang mengarah pada unsur hiburan dan informasi semata (infotainment). Sementara televisi sebagai media massa memiliki fungsi di bidang pendidikan dan kontrol/perekat sosial.
Agaknya pemahaman bahwa tayangan televisi sebagai media yang mampu menimbulkan atau mempengaruhi perilaku pemirsanya belum seutuhnya disadari. Berdasarkan kajian psikologi komunikasi tayangan-tayangan televisi menawarkan atau menyajikan pesan-pesan yang akan menstimulus organisme penontonnya. Stimulus pesan-pesan televisi ini sebelum menimbulkan respon akan mengendap di organisme penontonnya setelah melalui tahapan perhatian, pengertian, dan penerimaan. Bagi penonton dewasa tentu efek negatif yang ditimbulkan tidak begitu besar dibandingkan penonton anak-anak atau remaja.
Penonton dewasa memiliki tingkat filterisasi yang baik dibandingkan anak-anak. Penonton dewasa bukanlah audience pasif. Artinya, organisme penonton dewasa sebagaimana konsepsi teori S-O-R (Stimulus Organisme Respon) yang telah dikembangkan Hovland lebih bersifat aktif dibandingkan penonton anak-anak. Penonton dewasa telah mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk sementara penonton anak-anak belum mampu mengkritisi atau memfilter pesan tayangan televisi yang masuk ke otaknya (black box).
Pada anak-anak komponen organisme (daya pikir) masih labil. Artinya, pesan-pesan tayangan televisi memberikan memori yang cepat atau lambat mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan. Dengan kata lain sebagaimana karakter anak-anak akan meniru apa yang telah dilihatnya di televisi. Artinya, tayangan televisi sesuai dengan teori modeling akan menjadi model perilaku anak-anak.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita ketika tayangan smackdown membuat geger jagat nusantara. Aksi kekerasan yang diperagakan anak-anak merupakan dampak negatif setelah menonton acara smackdown di televisi. Dengan polos dan lugu mereka mempraktekkan aksi membanting seperti adegan yang telah disaksikannya di layar kaca.
Berdasarkan kajian, saat ini 6-7 jam televisi membombardir tayangan-tayangannya kepada anak-anak. Dapat dibayangkan, bagaimana pesan-pesan televisi “meracuni” pikiran anak-anak yang secara psikologis masih pada tahap mencari jati diri dengan sifat ingin tahunya begitu besar. Melihat kondisi yang ada dapat disebutkan bahwa 1/3 hari anak-anak dihabiskan dengan “berpetualang” dengan tayangan televisi. Bahkan tidak salah jika disebutkan tayangan televisi telah menjadi “orang tua” bagi anak-anak.

1 komentar: